Rabu, 18 Desember 2019

[YUK NGAJI] IHSANUL AMAL : SYARAT DITERIMANYA AMAL

Surga merupakan hal yang paling hamba Allah dambakan sebagai balasan untuk amalan sholeh yang telah mereka lakukan. Namun, pernahkah terpikir oleh kita bahwa setiap amalan sholeh yang telah kita lakukan selama ini belum tentu diterima oleh Allah SWT? Seperti apakah amalan yang akan diterima oleh Allah SWT?
Allah SWT berfirman :

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
 Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (TQS. Al Mulk ayat 2)

Dari ayat diatas jelas disebutkan bahwa kita harus melakukan yang terbaik dalam beramal (Ahsanu ‘amala) yang semoga amalan – amalan tersebut mampu memberatkan timbangan kita di yaumil hisab nanti. Lalu bagaimanakah kriteria agar amal yang kita lakukan sudah bisa disebut amal yang terbaik dan dapat diterima oleh Allah SWT? Mari kita bahas.
Pertama, syarat sebuah amal itu diterima oleh Allah SWT adalah niat. Amal tanpa niat akan menjadikannya sia – sia. Tentu saja niat itu harus ikhlas hanya karena mengharapkan ridho dari Allah SWT, bukan karena yang lain. Apalagi kalau mengharap pujian dari manusia, demi eksistensi diri atau bahkan demi materi, itu jelas salah.
Niat bukanlah sebuah perkara yang bisa kita anggap remeh. Niat adalah faktor yang menentukan nilai suatu perbuatan. Baik dan buruknya nilai suatu perbuatan tergantung pada niat pelakunya. Bahkan, perbuatan bisa tidak bernilai sama sekali jika tidak didahului oleh niat.
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa nanti akan ada syuhada, penghafal Alquran, dan orang-orang yang suka berinfak dilemparkan ke dalam neraka karena kesalahan niat. Syuhada yang berperang karena ingin disebut pemberani, penghafal Alquran yang ingin disebut sebagai qari’, dan orang-orang yang menginfakkan hartanya karena ingin disebut dermawan. Maka semuanya diperintahkan Allah agar dilemparkan ke dalam neraka. Na’udzubillah. Dalam hadist lain Rasululullah SAW bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْ
Artinya: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan“ (HR. Bukhari)

Hadist tersebut menjelaskan bahwa setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Jika kita melakukan sebuah amalan demi mengejar dunia maka hanya itulah yang kita dapat. Berbeda dengan seseorang yang berniat ikhlas karena Allah, pasti balasan yang mulai pula yang akan dia dapatkan. Niat kita dianggap sudah ikhlas karena Allah, jika:
  • Tidak mengharap pujian dari manusia.
  • Apa yang dilakukan hanya untuk Allah SWT, dalam kondisi sendirian ataupun banyak orang. Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan maksiat kita, adalah ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati. Dalam suasana yang tak diketahui oleh orang lain, akan terlihat apakah seseorang itu imannya betul-betul tulus atau tidak. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah ketika dia diminta menggambarkan apa itu ihsan, "Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya yakinilah bahwa Ia melihatmu."
  • Rasa tunduk kepada kebenaran. 
  • Tidak marah kalau mendapat cacian, kritikan. Mau menerima nasihat walaupun dari orang yang tidak setara dengannya.
  • Optimal, sungguh-sungguh.
Selanjutnya setelah kita bisa melakukan amalan dengan ikhlas, yang harus kita lakukan adalah melakukan amalan dengan benar. Melakukan suatu amalan dengan niat yang ikhlas dan baik saja tidak cukup karena kita juga harus melakukannya dengan cara yang benar. Lantas apa kriteria yang benar itu? Sebagai seorang Muslim tentu sudah jelas indikator kebenaran mutlak ada dalam Al Quran dan Hadist. Begitu pula ketika kita melakukan suatu amalan, akan dianggap benar jika sudah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW (Ittiba’ Rasul). Tidak boleh kita mengkreasikan amalan sendiri meskipun niat kita ikhlas dan itu sesuatu yang baik, karena jika amalan tersebut tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad pasti akan langsung tertolak.
Kenapa demikian? Kita ambil contoh sederhana, misalnya ada seorang guru memberikan tugas kepada muridnya. Si guru sudah memberikan penjelasan dan contoh terkait tugas yang dia berikan. Namun, ada seorang murid yang mengerjakan tugas dengan sangat bagus tapi sayangnya tugas tersebut tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh gurunya. Kalau seperti itu apakah si murid tetap bisa mendapatkan nilai bagus dari gurunya? Jawabannya tentu tidak karena tugas yang dia kerjakan tidak sesuai dengan pengarahan dari guru, bahkan mungkin bisa saja tugasnya ditolak oleh si guru. Begitu juga dalam beramal, meskipun niatnya sudah ikhlas karena Allah SWT dan dilakukan dengan cara yang baik namun tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, maka amalan tersebut sudah barang tentu akan ditolak oleh Allah SWT.
Contoh lain seperti ini, ada seorang ayah yang mencari nafkah untuk keluarganya. Mencari nafkah untuk keluarganya adalah sesuatu yang baik. Namun sayangnya dia mencari nafkah dengan cara melakukan riba yang jelas – jelas melanggar hokum syara’, maka dia akan berdosa. Hal ini juga ditegaskan dalam sebuah hadist, yang berbunyi:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : "Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak."  (HR. Muslim)

Hadist lain mengatakan:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : "Siapa saja yang mengada-adakan —dalam urusan (agama) kami ini— sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak." (HR. Bukhari)

Dengan demikian, hendaklah jika kita ingin melakukan suatu amalan lakukanlah dengan niat yang semata – mata hanya megharap ridho dari Allah SWT, bukan karena mengharapkan penilaian dari manusia. Perkara niat inilah yang membedakan amalan orang muslim dengan orang kafir. Orang-orang kafir tidak mengimani Allah dan kenabian Muhammad SAW. Oleh karena itu secara otomatis amalan mereka di dunia sia-sia belaka, meskipun mereka menginfakkan harta sepenuh bumi.  Kita juga perlu mencari tahu terlebih dahulu apakah amalan yang akan kita lakukan itu sesuai syariat Islam, meskipun yang kita melakukannya dengan ikhlas. Proses mancari tahu ini bukan perkara yang sederhana. Dibutuhkan pengetahuan tentang ajaran agama Islam. Oleh karena itu, kita setiap muslim harus meluangkan waktunya untuk belajar tsaqofah Islam (ilmu pengetahuan Islam). Berbagai cara dan sarana bisa dipakai. Misalnya, membaca buku, majalah, situs internet, mendengarkan ceramah agama di radio, televisi, mengikuti forum pengajian, dan lain sebagainya. Sesibuk apapun seseorang, ia harus belajar Islam. InsyaAllah dengan bekal ilmu agama yang kita miliki, kita tidak akan tersesat dalam bertindak.

0 komentar:

Posting Komentar