Surga merupakan
hal yang paling hamba Allah dambakan sebagai balasan untuk amalan sholeh yang
telah mereka lakukan. Namun, pernahkah terpikir oleh kita bahwa setiap amalan
sholeh yang telah kita lakukan selama ini belum tentu diterima oleh Allah SWT? Seperti
apakah amalan yang akan diterima oleh Allah SWT?
Allah SWT berfirman :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ
أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (TQS. Al Mulk ayat 2)
Dari ayat
diatas jelas disebutkan bahwa kita harus melakukan yang terbaik dalam beramal (Ahsanu
‘amala) yang semoga amalan – amalan tersebut mampu memberatkan timbangan kita
di yaumil hisab nanti. Lalu bagaimanakah kriteria agar amal yang kita lakukan
sudah bisa disebut amal yang terbaik dan dapat diterima oleh Allah SWT? Mari
kita bahas.
Pertama, syarat
sebuah amal itu diterima oleh Allah SWT adalah niat. Amal tanpa niat akan
menjadikannya sia – sia. Tentu saja niat itu harus ikhlas hanya karena mengharapkan
ridho dari Allah SWT, bukan karena yang lain. Apalagi kalau mengharap pujian
dari manusia, demi eksistensi diri atau bahkan demi materi, itu jelas salah.
Niat bukanlah
sebuah perkara yang bisa kita anggap remeh. Niat adalah faktor yang menentukan nilai suatu
perbuatan. Baik dan buruknya nilai suatu perbuatan tergantung pada niat
pelakunya. Bahkan, perbuatan bisa tidak bernilai sama sekali jika tidak
didahului oleh niat.
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa nanti akan ada syuhada, penghafal Alquran, dan orang-orang yang suka berinfak dilemparkan ke dalam neraka karena kesalahan niat. Syuhada yang berperang karena ingin disebut pemberani, penghafal Alquran yang ingin disebut sebagai qari’, dan orang-orang yang menginfakkan hartanya karena ingin disebut dermawan. Maka semuanya diperintahkan Allah agar dilemparkan ke dalam neraka. Na’udzubillah. Dalam hadist lain Rasululullah SAW bersabda:
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa nanti akan ada syuhada, penghafal Alquran, dan orang-orang yang suka berinfak dilemparkan ke dalam neraka karena kesalahan niat. Syuhada yang berperang karena ingin disebut pemberani, penghafal Alquran yang ingin disebut sebagai qari’, dan orang-orang yang menginfakkan hartanya karena ingin disebut dermawan. Maka semuanya diperintahkan Allah agar dilemparkan ke dalam neraka. Na’udzubillah. Dalam hadist lain Rasululullah SAW bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْ
Artinya: "Semua
perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung)
apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin
digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya
adalah kepada apa dia diniatkan“ (HR. Bukhari)
Hadist tersebut
menjelaskan bahwa setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan
mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Jika kita melakukan sebuah amalan
demi mengejar dunia maka hanya itulah yang kita dapat. Berbeda dengan seseorang
yang berniat ikhlas karena Allah, pasti balasan yang mulai pula yang akan dia
dapatkan. Niat kita dianggap sudah ikhlas karena Allah, jika:
- Tidak mengharap pujian dari manusia.
- Apa yang dilakukan hanya untuk Allah SWT, dalam kondisi sendirian ataupun banyak orang. Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan maksiat kita, adalah ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati. Dalam suasana yang tak diketahui oleh orang lain, akan terlihat apakah seseorang itu imannya betul-betul tulus atau tidak. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah ketika dia diminta menggambarkan apa itu ihsan, "Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya yakinilah bahwa Ia melihatmu."
- Rasa tunduk kepada kebenaran.
- Tidak marah kalau mendapat cacian, kritikan. Mau menerima nasihat walaupun dari orang yang tidak setara dengannya.
- Optimal, sungguh-sungguh.
Selanjutnya
setelah kita bisa melakukan amalan dengan ikhlas, yang harus kita lakukan
adalah melakukan amalan dengan benar. Melakukan suatu amalan dengan niat yang
ikhlas dan baik saja tidak cukup karena kita juga harus melakukannya dengan
cara yang benar. Lantas apa kriteria yang benar itu? Sebagai seorang Muslim
tentu sudah jelas indikator kebenaran mutlak ada dalam Al Quran dan Hadist.
Begitu pula ketika kita melakukan suatu amalan, akan dianggap benar jika sudah
sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW (Ittiba’ Rasul).
Tidak boleh kita mengkreasikan amalan sendiri meskipun niat kita ikhlas dan itu
sesuatu yang baik, karena jika amalan tersebut tidak dicontohkan oleh Nabi
Muhammad pasti akan langsung tertolak.
Kenapa
demikian? Kita ambil contoh sederhana, misalnya ada seorang guru memberikan
tugas kepada muridnya. Si guru sudah memberikan penjelasan dan contoh terkait
tugas yang dia berikan. Namun, ada seorang murid yang mengerjakan tugas dengan
sangat bagus tapi sayangnya tugas tersebut tidak sesuai dengan apa yang
dicontohkan oleh gurunya. Kalau seperti itu apakah si murid tetap bisa
mendapatkan nilai bagus dari gurunya? Jawabannya tentu tidak karena tugas yang
dia kerjakan tidak sesuai dengan pengarahan dari guru, bahkan mungkin bisa saja
tugasnya ditolak oleh si guru. Begitu juga dalam beramal, meskipun niatnya
sudah ikhlas karena Allah SWT dan dilakukan dengan cara yang baik namun tidak
sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, maka amalan tersebut
sudah barang tentu akan ditolak oleh Allah SWT.
Contoh
lain seperti ini, ada seorang ayah yang mencari nafkah untuk keluarganya.
Mencari nafkah untuk keluarganya adalah sesuatu yang baik. Namun sayangnya dia
mencari nafkah dengan cara melakukan riba yang jelas – jelas melanggar hokum
syara’, maka dia akan berdosa. Hal ini juga ditegaskan dalam sebuah hadist,
yang berbunyi:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : "Siapa
saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka
perbuatan itu tertolak." (HR.
Muslim)
Hadist lain mengatakan:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : "Siapa
saja yang mengada-adakan —dalam urusan (agama) kami ini— sesuatu yang tidak
berasal darinya, maka hal itu tertolak." (HR. Bukhari)
Dengan
demikian, hendaklah jika kita ingin melakukan suatu amalan lakukanlah dengan
niat yang semata – mata hanya megharap ridho dari Allah SWT, bukan karena
mengharapkan penilaian dari manusia. Perkara niat inilah yang membedakan amalan
orang muslim dengan orang kafir. Orang-orang kafir tidak mengimani Allah dan
kenabian Muhammad SAW. Oleh karena itu secara otomatis amalan mereka di dunia
sia-sia belaka, meskipun mereka menginfakkan harta sepenuh bumi. Kita juga perlu mencari tahu terlebih dahulu
apakah amalan yang akan kita lakukan itu sesuai syariat Islam, meskipun yang kita melakukannya dengan ikhlas. Proses mancari tahu ini bukan
perkara yang sederhana. Dibutuhkan pengetahuan tentang ajaran agama Islam. Oleh
karena itu, kita setiap muslim harus meluangkan waktunya untuk belajar tsaqofah
Islam (ilmu pengetahuan Islam). Berbagai cara dan sarana bisa dipakai.
Misalnya, membaca buku, majalah, situs internet, mendengarkan ceramah agama di
radio, televisi, mengikuti forum pengajian, dan lain sebagainya. Sesibuk apapun
seseorang, ia harus belajar Islam. InsyaAllah dengan bekal ilmu agama yang kita
miliki, kita tidak akan tersesat dalam bertindak.
0 komentar:
Posting Komentar